Partai Garuda dan Partai Nasdem Dukung Sistem Proporsional Terbuka

Sabtu, 18 Februari 2023 - Oleh Redaksi Views: 52

 

Medianews.id, Jakarta – Jika sistem pemilihan anggota DPR dan DPRD pada Pemilu Serentak 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup, maka secara historis akan terjadi kemunduran dalam politik dan kehidupan bangsa Indonesia. Pasalnya, masyarakat tidak memilih calon secara langsung seperti yang terjadi saat ini, melainkan ditunjuk oleh partai politik seperti sebelum pemilu 2009 lalu.

Kesaksian ini disampaikan Munathsir Mustaman yang mewakili Pihak Garuda sebagai Pihak Terkait Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam rapat yang digelar pada Kamis (16/2/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Soal yang secara materiil menguji Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pilkada) disampaikan Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrasi (Nasdem). ), Fahrurrozi , Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono Sidang digelar dengan agenda mendengarkan keterangan Pihak Terkait, Hermawi Taslim, DPP Partai Garuda dan Wibi Andrino yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya. .

Munathsir secara filosofis menjelaskan bahwa sistem proporsional tertutup mengakibatkan pemilihan anggota legislatif tidak diketahui oleh rakyat—mengat anggota DPR dan DPRD dipilih oleh partai politik. Pemilihan dapat dilatarbelakangi oleh kedekatan dengan pimpinan partai politik, potensi untuk membayar/memberikan uang kepada pimpinan partai politik atau bahkan karena hubungan keluarga dengan pimpinan partai yang pada akhirnya akan menciptakan dinasti politik dinasti politik belaka, yaitu, kekuasaan yang hanya dikuasai oleh beberapa orang atau kelompok .

 

Selain itu, kata Munathsir, sistem proporsional tertutup sebagaimana dimaksud Pemmohon juga membawa konsekuensi logis bahwa anggota DPR dan DPRD terpilih tidak memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat. Sehingga tidak memiliki landasan dan akar yang kuat untuk membela kepentingan rakyat secara luas. Sehingga anggota DPR dan DPRD terpilih lebih berpotensi untuk membela dan mengakomodir kepentingan pimpinan partai politik yang memilih/mencalonkan mereka sebagai anggota legislatif. Padahal yang harus dicari adalah keseimbangan antara perwakilan partai politik dan perwakilan rakyat sebagai pemilih untuk dapat menentukan wakilnya.

 

Lebih lanjut Munathsir mengungkapkan bahwa dalam sistem proporsional terbuka seperti yang berlaku saat ini berdasarkan UU Pemilu, telah menunjukkan cerminan amanat konstitusi dan pentingnya reformasi, karena anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Keterbukaan dan kebebasan dalam pemilihan bagi rakyat untuk secara langsung memilih wakilnya di lembaga legislatif mencerminkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta kedewasaan dalam berpolitik.

 

“Sampai terbangun kedekatan antara masyarakat sebagai pemilih dengan anggota legislatif yang dipilihnya. Dengan demikian, berdasarkan seluruh uraian di atas, ia menilai permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum, sehingga sudah sepantasnya jika MK menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pemohon tidak dapat dikabulkan. diterima,” katanya.

 

Nasdem tidak mengakui pemohon

 

Sementara Deputi Sekjen Bidang Kebijakan Publik dan Isu Strategis Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem) Hermawi Taslim yang diwakili Risky Dewi Ambarwati dalam keterangannya mengatakan Pihak Terkait berkepentingan langsung dengan substansi atau dasar permohonan. a quo . Sebab, persoalan yang diajukan Pemohon tentu akan berdampak pada hak konstitusional Pihak Terkait dari Partai Nasdem. “Karena salah satu pemohon dalam permohonan a quo atas nama Yuwono Pintadi (Pemohon IV) telah menggunakan atribut dan identitas Partai Nasdem sebagai pemohon di MK,” ujarnya.

 

Risky menegaskan Yuwono Pintadi bukan anggota atau kader Partai Nasdem karena tidak tercatat dalam sistem keanggotaan Partai Nasdem. DPP Partai Nasdem telah mengeluarkan surat edaran atau surat kebijakan kepada seluruh anggota partai yang telah memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) dimana KTA akan habis masa berlakunya pada tahun 2019 dan wajib memperbarui KTA.

 

“Kalau tidak perpanjang, maka dianggap mengundurkan diri. Menurutnya, tindakan dan tindakan yang mengatasnamakan Yuwono Pintadi sama sekali tidak mewakili sikap Partai Nasdem dalam mengajukan permohonan a quo ,” kata Risky.

 

Partai Nasdem, lanjut Risky, mendukung sistem proporsional terbuka pada Pileg 2024. Ia menilai perdebatan soal sistem pemilihan anggota DPR dengan sistem proporsional terbuka sudah berakhir, setelah diputuskan oleh MK pada 2008 lalu. Pasca Putusan Mahkamah Agung Nomor 22-24PUU-VI/2008 yang mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang Pasal 14 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD, dan DPD mengubah sistem pemilu dari sistem proporsional tertutup menjadi sistem proporsional tertutup. sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak.

 

“Lahirnya sistem proporsional terbuka murni diawali dengan dikabulkannya gugatan uji materi oleh MK terhadap ketentuan Pasal 14 UU 10 Tahun 2008. Pasal tersebut dinilai inkonstitusional karena bertentangan dengan makna substansi kedaulatan rakyat. dan bertentangan dengan asas keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UUD 1945,” kata Risky dalam rapat yang dipimpin Ketua Mahkamah Agung Anwar Usman.

 

Risky mengatakan, MK sebagai lembaga yang berkompeten menafsirkan UUD 1945 berpendapat bahwa tujuan utama pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai prinsip dasar konstitusi adalah untuk mengatur kerangka sedemikian rupa agar hak pemilih untuk memilih dihargai. dan dievaluasi yang merupakan bentuk kedaulatan. Pemilih dalam sistem pemilu ini memiliki peran yang kuat dan penting dalam menentukan calon anggota legislatif sehingga para calon akan bersaing untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.

 

Tak hanya itu, lanjut Risky, sistem proporsional terbuka merupakan salah satu bentuk kemajuan dalam praktik demokrasi. Sistem tersebut merupakan antitesis dari sistem sebelumnya, yaitu sistem proporsional tertutup yang digunakan pada masa Orde Lama dan Orde Baru. “Wacana seperti dalam aplikasi PUU a quo yang intinya menyerukan kembalinya sistem proporsional tertutup dalam pemilu merupakan kemunduran bagi demokrasi,” tambah Risky.

 

Kemudian, Partai Nasdem menilai sistem proporsional terbuka sebagai praktik demokrasi yang ideal karena sistem proporsional terbuka memungkinkan seseorang dari berbagai latar belakang sosial terlibat dalam politik elektoral . “Dengan sistem seperti ini, warga juga bisa berpartisipasi dalam proses politik di tubuh partai. Proses demokrasi Indonesia adalah sistem yang terus berkembang dari waktu ke waktu, tetapi harus membalikkan yang sudah maju tetapi memperbaiki dan membenahi hal-hal yang masih menjadi kelemahan atau kekurangan,” tandasnya.

 

Sebagai informasi, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam hal pengujian UU Pilkada diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrasi). Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.

 

Dalam sidang pendahuluan di MK, Rabu (23/11/2022), para Pemohon mendalilkan norma pasal terkait sistem pemilu proporsional berdasarkan suara terbanyak, berarti dibajak oleh calon pragmatis yang hanya bermodalkan popularitas. dan menjual diri tanpa ikatan ideologis dan struktur partai politik serta tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi sosial politik. Alhasil, ketika terpilih menjadi anggota DPR/DPRD, Anda seolah-olah tidak mewakili organisasi partai politik, tetapi mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, harus ada otoritas partai yang menentukan siapa yang berhak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.

 

Selain itu, menurut Pemohon, pasal-pasal a quo telah menimbulkan individualisme politisi yang mengakibatkan konflik internal dan kanibalisme di lingkungan partai politik yang bersangkutan. Sebab, proporsionalitas terbuka ini dianggap melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan total individu dalam pemilu. Harus ada persaingan antar partai politik di daerah pemilihan. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan perseorangan seperti yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

 

Pemohon dirugikan karena pasal-pasal mengatur sistem penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena membuat pilkada menjadi sangat mahal dan menimbulkan masalah yang multikompleks. Sistem proporsional terbuka dinilai Pemohon menciptakan model persaingan antar caleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg untuk melakukan kecurangan termasuk dengan memberikan uang kepada penyelenggara pemilu, sehingga ketika pasal a quo dibatalkan akan mengurangi praktik politik uang dan menjadikan pemilu lebih bersih, jujur, dan adil. Selain itu, sistem pemilihan proporsional terbuka dengan pemilihan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak juga sangat mahal sehingga memakan pengeluaran yang mahal dari APBN, misalnya pembiayaan pencetakan surat suara pemilihan anggota DPR RI. , DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota. Selain itu, Pemohon dalam permohonannya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” dalam Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)

Sumber : mkri.id

Penulis : Utami Argawati

Editor : Lulu Anjarsari P.


TAGS:
Array

Berita Terkait